Inspirasi
Jadikan Sebuah Tulisan Menjadi Kenangan
Kirimkan Cerita, Photo atau lainnya
MENGHIMPUN NYALI
Oleh: Cut Wiwi Elyani
Sewaktu pendataan awal jauh sebelum reuni, sebenarnya saya tidak ingin ikut melintasi jembatan. Rasanya koq, seperti menyeberangi jembatan Sirotol Mustaqim, ya? He, he, he... Terbayang, jauh banget! Sekitar 535 m. Tingginya sekitar 200 m dari permukaan tanah di lembah G. Gede-Pangrango. Lebar jembatan cuma 1,5 m. Jembatan gantung itu bisa berayun ketika ada orang-orang meniti di atasnya. Wow, mengerikan sekali. Itu bayangan saya, Guys!
Nah, pada saat ngobrol-ngobrol di villa pada hari Sabtu (2 Nov.), keberanian saya mulai muncul. Saya lihat Mbak Eko yang sakit saja berani; saya yang sehat begini mengapa takut? Juga Bu Doktor Eri Samah dari Medan juga mau ikut menyeberang. "Saya harus berani," begitu tekad saya dalam hati. Esok harinya, sekitar pukul 07.30 seluruh peserta reuni berangkat konvoi menuju Kawasan Wisata Situgunung. Semuanya ada 6 unit mobil. Jalannya mulus, pemandangan bagus. Udara segar, membuat badan menjadi bugar. Pukul 08.00 rombongan sudah sampai pintu gerbang utama kawasan wisata. Setelah mobil diparkir, kami pun pasang aksi di depan gapura berfoto ria. Selanjutnya rombongan terbagi dua kelompok. Kelompok pertama yang ingin terus ke jembatan gantung. Sisanya yang ingin jalan-jalan di sekitar situ (danau).
Nah, akhirnya saya terbawa arus rombongan yang ke jembatan. Ya, sudah, pasrah saja. Saya lihat Mbak Eko, Uni Eri Samah, dan isterinya Muhammad tampak enjoy-enjoy saja. "Ayo, Wi, kamu harus berani!" begitu batinku berkata. Mula-mula pengunjung berbaris melintasi pintu berputar. Gelang kertas yang melingkar di tangan setiap peserta diperiksa oleh petugas; lalu dilobangi dengan perforator. Selanjutnya kami berjalan menuju ke arah jembatan. Di titik ini pengunjung harus mengantri. Sebab jumlah pelintas jembatan dibatasi. Ini untuk safety. Nah, saat mengantri inilah kami manfaatkan untuk berfoto ria. Semua tampak ceria. Saya pun melupakan pobia.
Setelah rombongan dipasang sabuk pengaman satu per satu, saya pun melangkah bersama kawan-kawan. Sesekali berpegangan pada tali jembatan tatkala bergoyang. Wow, ngeri-ngeri sedap kawan. Kami saling mengabadikan momen itu dengan ponsel. Amboi, pemandangan sungguh sangat menakjubkan. Pepohonan yang tinggi menjulang tampak kecil dari ketinggian. Orang-orang di ujung jembatan bagaikan liliput; saking panjangnya jembatan. Kang Usman terkadang usil menghentak-hentakkan kakinya, membuat jembatan bergoyang. Untung ada Kang Dadat, Muhammad dan Tony di samping saya. Alhamdulillah, akhirnya saya selamat melintasi jembatan.* (edited by: th) Bersambung ...
TRECKING BIKIN PINGGANG TEKLEK!
Oleh: Cut Wiwi Elyani
Sesampai di seberang jembatan, hati terasa plong. Semua duduk istirahat sambil menikmati bekal dari Panitia. "Kita terus ke mana, Pak Ujang?" tanya Mas Tony kepada Pak Ujang, pemandu kami. "Ada beberapa obyek wisata lagi yang akan kita kunjungi, yaitu Curug Sawer, Keranjang Sultan, dan Jembatan Merah," jawab Pak Ujang. "Oke, kita jalan lagi, yuk!" Mas Tony memberi aba-aba. Kami pun melanjutkan perjalanan. Jaraknya sekitar 1 km. Kaki dan pinggang saya masih belum terasa.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 45', kami pun tiba di Curug Sawer. Debit air terjunnya sangat besar. Mungkin karena sudah musim hujan. Efek anginnya berasa hingga sekujur tubuh. Indah banget. Banyak pengunjung yang mengambil foto dan video. Banyak juga yang mandi di aliran sungai di bawahnya. Tersedia wahana arung sungai dengan ban mobil. "Yuk, kita lanjutkan perjalanan!" aba-aba dari komandan. "Kita akan menuju Keranjang Sultan," sambung Pak Ujang. Nah, di sini kaki mulai terasa pegal, Guys! Pinggang juga agak nyeri. Ingin rasanya ikut slonjoran di bale-bale warung di sekitar kolam. Namun rombongan sudah maju ke depan. Oalah, Biyung! Coba kalau masih ada Mbah Surip. Saya minta gendong sambil bernyanyi, "Tak gendong ke mana-mana ... Enak, to?" Ha, ha, ha... Sampailah kami di wahana Keranjang Sultan. Oh, ternyata itu adalah keranjang yang digantung. Jumlahnya empat buah berderet. Ada sabuk pengamannya. Kita duduk di dalam keranjang tersebut, lalu ditarik menggantung di atas sungai kecil yang jernih airnya dan berbatu. Cukup asyik juga. Mungkin kami bergantungan selama 2' saja.
Nah, setelah itu perjuangan dimulai. Kami harus trecking sekitar 1 jam untuk sampai di pelataran parkir mobil kami. Melewati Jembatan Merah dan jalan berbatu. Telapak kaki terasa perih. Pinggang terasa pegal. Betis makin penat menahan beban tubuh saya yang ndut, Kawan! Ingin rasanya berbaring di kasur yang empuk. Rombongan sudah jauh melangkah. Untung ada Mas Supriyadi yang setia menemani. "Ayo, Wi, sebentar lagi sudah sampai. Kamu pasti bisa!" teriak Mas Supriyadi memberi semangat. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di finish. Pengalaman yang takkan terlupakan.* (edited by: th)
TRIO LIBEL
Oleh: Didi Ruswandi
Malam Minggu yang ceria. Di Villa Vini Vidi. Sekitar pukul 22.00. Semua penghuni masih asyik menikmati kebersamaan reuni. Ada yang mengobrol sambil menyantap jagung bakar hangat yang lezat. Ada yang tiduran di kamar sambil menikmati lagu-lagu nostalgia yang dilantunkan oleh biduan kita, yaitu Abah Hendri dan Mas Tony.
"Boleh aku gabung?" pinta saya kepada Abah Hendri yang lagi asyik bernyanyi. "Ayo, sini merapat, Kang! Sebentar, saya carikan lagu yang enak. Nanti pas reffrain, tarik suara yang keras, ya!" jawab Abah Hendri.
Sesaat dia mencari-cari lagu yang dimaksud di ponselnya. Akhirnya ketemu, "Nah, ini, lagunya Rhoma Irama. Judulnya 'Jeritan Hati'. Nanti pada saat 'Oooh, ooh, ooh', Kang Didi nyanyi yang keras, ya?" lanjut Abah Hendri. "Oke, siap!" saya menjawab.
Speaker aktif yang dibawa oleh Mas Hawignyo pun mulai melantunkan iringan lagu "Jeritan Hati". Abah Hendri dan Mas Tony pun mulai beraksi. Nah, pas pada syair "Ooh, ooh, ooh, ooh", saya pun bernyanyi sekuat tenaga, Guys! "Mantap!" kata Abah Hendri dan Mas Tony, "... Tarik, Mang!" Saya semakin bersemangat ikut bernyanyi. Musik terus berputar. Kami bertiga beraksi bak Trio Libel. He, he, he ...
Rupanya, isteri saya yang lagi tiduran di kamar ikut menikmati lagu tersebut. Beberapa kali dia mengacungkan jempol ke arah saya. Saya pun tambah semangat. "Alhamdulillah... Isteriku yang sedang sakit pun rupanya ikut terhibur," begitu batinku berkata. Setelah lagu "Jeritan Hati" usai, dilanjutkan dengan lagu yang tak kalah asyik. "Ayo, Di, kita goyang lagi! Lagu berikutnya adalah 'Perjuangan dan Doa'. Masih karya Rhoma Irama. Tarik, Mang!" Abah Hendri memberi aba-aba.
Saya hafal betul lagu itu. Karena itu, saya bernyanyi penuh semangat. Apalagi ketika sampai pada bait "Berjuang, berjuang ... Berjuang sekuat tenaga" ... suara saya paling lantang. Ketika aku lirik ke arah kamar, rupanya isteriku sudah posisi duduk sambil bergoyang. "Masya Allah, semoga turut menjadi syareat penyembuh bagi isteri saya yang tengah berjuang melawan kanker otaknya, ya, Allah!" Aamiin ... *(edited by: th)
SHOLAT SUBUH
Oleh: Usman, Aceh
Hari Minggu, 3 November 2024. Tepat pukul 03.30 alarm ponsel saya berdering. Villa Vini Vidi masih sunyi. Semua penghuni masih terlelap di alam mimpi. Di sana-sini terdengar suara nafas; bahkan ada yang mendengkur seperti suara gergaji mesin. Pagi itu angin gunung terasa dingin. Sayup-sayup terdengar suara adzan di kejauhan. Saya bangun dan bergegas ke musholla di depan villa. Namun ketika hendak memasuki musholla, masih tampak gelap gulita dan sepi. Belum ada jamaah yang datang.
Karena sudah masuk waktu Subuh, akhirnya saya beranikan diri mengumandangkan adzan. Untung ada pengeras suara, sehingga berdatanganlah jamaah lainnya. Ada Mas Tony, Kang Dadat, Mas Hawignyo, Ust. Fachruddien dan beberapa lainnya, termasuk warga setempat.
Salah seorang jamaah dari warga setempat bertutur kepada saya usai sholat Subuh, "Iya, Pak, kalau Subuh, musholla ini sepi. Bahkan terkadang tutup. Alhamdulillah, hari ini tampak ramai. Ini semua dari mana, ya?" Saya jawab, "Kami dari mana-mana, Pak! Ada Aceh, Medan, Lampung, Jakarta, Bogor, Tegal, Cianjur dan Sukabumi. Kami menginap di Villa Vini Vidi itu. Kami sedang reuni, Pak!"
Di Takengon, saat Subuh, suhunya bisa mencapai 15°C. Membekukan tulang. Di situlah diuji keimanan kita. Barang siapa yang lemah imannya, akan tetap tidur di kasur. Tetapi bagi insan yang bertaqwa, dia akan segera bangkit dari tidurnya pergi ke masjid menghadap Allah Swt. Semoga kita termasuk umat-Nya yang sholih. Aamiin ...* (edited by: th)